Trie Setyaningsih

Banyak jalan menuju kesempurnaan



ETIKA, MAKNA DAN MASALAHNYA
Makna Etika
Istilah etika dipakai dalam dua macam arti. Yang satu tampak dalam ungkapan seperti “saya pernah belajar etika.” Dalam penggunan seperti ini etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Makna kedua seperti yang terdapat pada ungkapan “ia bersifat etis.”, atau “ia seorang yang jujur.”, atau “pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila,” atau “kebohongan merupakan sesuatu yang tidak susila.” Dan sebagainya. Dalam hal-hal tersebut ‘bersifat etik’ merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia tertentu dengan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Dalam arti yang demikian ini, ‘bersifat etik’ setara dengan ‘bersifat susila’.

Hendaknya dicatat, ‘bersifat susila’ tidak harus berarti sama atau sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok manusia tertentu. Ada kemungkinan seseorang mengutuk salah satu adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok manusia tertentu sekedar merupakan kebiasaan-kebiasaan, seperti kebiasaan membuang anak kecil yang terdapat pada kelompok manusia terasing, dan sebagainya.

Patut pula diingat bahwa etika sebagai ilmu penegtahuan dapat berarti penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangkan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Pembedaan yang coba diadakan ini sesungguhnya sama dengan pembedaan antara berbicara mengenai kesusilaan dengan berbicara menurut istilah-istilah kesusilaan. Jika kita ingat pembedaan antara ‘keharusan’ dengan ‘kenyataan’, kita dapat memahami bahwa ada kemungkinan untuk menyelidiki masalah-masalah penilaian dengan dua cara. Orang mungkin menghadapi seperangkat pernyataan seperti, “di Amerika Serikat, Pembunuhan dipandang sebagai keburukan.” Atau “di negeri X, hubungan sebelum perkawinan dipandang sebagai susila, “ dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam hal ini terdapat suatu ilmu pengetahuan yang murni deskriptif dan illmu pengetahuan yang tugasnya sekedar menggambarkan objeknya secara cermat.

Etika deskriptif mungkin merupakan cabang sosiologi, tetapi jika kita belajar etika kiranya penting untuk mengetahui apa yang dipandang betul dan apa yang dipandang tidak betul. Pengetahuan yang demikian ini dapat mencegah berkembangnya rasa kedaerahan. Tetapi perbedaan yang besar dalam adat istiadat juga telah menimbulkan pendirian bahwa tanggapan-tanggapan kesusilaan bersifat nisbi. Artinya, berbeda-beda tergantung pada kebudayaan dimana tanggapan-tanggapan tersebut dibuat. Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan bermacam-macam predikat serta tanggapan kesusilaan yang ada. Oleh karena itu etika deskriptif tidak dapat membicarakan ukuran-ukuran mengenai tanggapan kesusilaan yang sehat, meskipun kadang-kadang etika deskriptif mencampur adukkan antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan memandang bahwa tanggapan kesusilaan tersebut sudah betul.

Di lain pihak, etika acapkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah  yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan. Ilmu pengetahuan ini membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Ilmu pengetahuan seperti ini dinamakan ‘etika normatif’.

Di samping itu terdapat juga makna ketiga, yang bersifat lebih terbatas yang dikandung oleh istilah ‘etika’. Agar etika tetap memperoleh pengertian sebagai ilmu pengetahuan umum namun tidak dipulangkan kepada sosiologi, maka terdapat pula orang-orang yang berbicara mengenai etika kefilsafatan, yaitu analisa mengenai makna apakah yang dikandung oleh predikat-predikat kesusilaan. Analisa ini dilakukan dengan jalan menyelidiki penggunaan predikat-predikat yang dikandung pernyataan-pernyataan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Etika Deskriptif dan Etika Normatif
Secara singkat dapat dikatakan bahwa etika deskriptif sekedar melukiskan predikat-predikat dan tanggapan-tanggapan kesusilaan yang telah dan digunakan. Etika normatif bersangkutan dengan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas. Etika kefilsafatan mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-isilah kesusilaan, yang dipakai untuk mebuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.

Etika Praktis
Kita ambil sebuah contoh. Diandaikan kita adalah seseorang dokter yang menghadapi pasien yang sedang menghadapi maut karena berpenyakit kanker dan sedang menderita rasa sakit yang hebat. Sebagai seorang dokter, kita dapat membunuh pasien kita dan secara demikian melepaskannya dari kertersiksaan yang mengerikan, yang bagaimanapun pasti akan berakhir dengan kematiannya. Kita bertanya di dalam hati, “apakah dapat dibenarkan bila saya sebagai seorang dokter membunuh pasien saya?” peristiwa ini dapat dijadikan sebagai suatu masalah yang pelik. Misalnya kita dapat mengandaikan bahwa orangnya sendiri minta untuk dibunuh, dan segenap kerabatnya dapat menerima pembunuhan tersebut.

Dalam hal ini masalah-masalah apakah yang timbul? Kita mungkin mengatakan,”masalah nyawa termasuk urusan Tuhan dan karenanya seorang dokter tidak berhak mencabut nyawa seseorang.” Orang lain mungkin berkata, “memang benar, tetapi cobalah berpikir betapa kurangnya penderitaan si sakit dan bertambahnya kebahagiaan sanak keluarga yang dicekam oleh kecemasan seraya berputus asa serta tiada berdaya lagi. Dalam hal ini perbuatan membunuh tersebut bersifat susila.”
Di samping itu orang ketiga mungkin berkata, “sesungguhnya mencabut nyawa merupakan perbuatan yang tidak susila, apapun akibat yang ditimbulkannya. Seorang dokter tidak berhak melakukan pembunuhan terlepas dari masalah rasa sakit dan penderitaan yang dialami seseorang.”



Beberapa Pandangan Tentang Filsafat
Filsafat mempunyai makna yang banyak jumlahnya bagi pelbagai orang dan pada pelbagai masa di dalam sejarah manusia. Telah banyak definisi yang dicoba untuk dibuat dan banyak pula yang telah membatasi corak-corak pertanyaan yang diajukan oleh seorang filsuf. Selama sejarah peradaban barat, filsafat dipandang meliputi setiap hal, mulai dari sikap pribadi orang terhadap dunia di sekitarnya sampai dengan seluruh jumlah pengetahuan manusia. Aristoteles menulis tentang metafisika, etika, politik, biologi, fisika, bahasa, sebagainya. Dewasa ini ada yang hendak membatasi lingkup filsafat agar hanya berkisar pada pertanyaan-pertanyaan tentang logika sintaksiss. Sebaliknya, oleh Hocking, filsafat diberi Definisi:
“filsafat, menurut pemahaman saya, pertama-tama merupakan suatu penelitian tentang kepercayaan, yakni kepercayaan sebagai paham yang kita hayati yang berbeda dari paham yang kita pertimbangkan. Upaya mengadakan kritik berulang-ulang terhadap pelbagai kepercayaan kita yang utama ini mendorong kita ke arah suatu kepercayaan yang bersifat menyeluruh mengenai dunia kita hidup, sehingga filsafat menjadi penafsiaran yang bersifat umum mengenai pengalaman. Melukiskan pengalaman merupakan usaha kita, dan yang bertujuan untuk melukiskan secara benar, satu penyelidikan yang kritis, yang logis dan tepat mengenai kategori-kategori, tetapi melukiskan itu saja tidak cukup, kecuali jika nelukiskan itu juga berarti menjelaskan. Karena pada akhirnya keharusan untuk memahami itulah yang mendorong kita ke arah filsafat, dan apapun penafsiran manusia terhadap dunia, bagi mereka hal itu merupakan filsafat, baik kita mengakuinya secara demikian maupun tidak.”

Hal ini memberikan kepada kita gambaran mengenai filsafat sebagai suatu percobaan. Katakanlah, untuk keluar dan berada di atas dunia yang kita diami, serta memandang dunia itu dari sudut pandangan yang lebih tinggi. Pandangan yang demikian erat hubungannya dengan pandangan Spinoza yang berpendirian bahwa seorang filsuf harus melihat segala hal yakni dari segi keabadian.

Filsafat dan Peradaban
Sementara orang ada yang membantah dan mengatakan, mereka yang menganut filsafat, yang mengeluarkan mereka dari dunia ini, merupakan orang-orang yang melarikan diri. Banyak yang beranggapan bahwa filsafat yang sebenarnya secara intrinsik menyatu dari percobaan manusia untuk menghadapi pertentangan-pertentangan, kekalahan-kekalahan serta kemenangan-kemenangan dalam hidup. Sebagaimana dikatakan John Dewey (1859-952) filsafat dari satu masa harus dipandang sebagai suatu ungkapan perjuangan manusia di dalam
Usaha yang sudah lama dan selalu baru, untuk menyesuaikan sebagian terbesar tradisi yang membentuk akal pikiran manusia yang sesungguhnya (pada suatu waktu) dengan kecenderungan-kecenderungan ilmiah, serta hasrat-hasrat politik yang baru dan yang tidak cocok dengan otoritas-otoritas yang telah diterima.

Filsafat merupakan perjuangan yang berlangsung terus menerus untuk menyesuaikan yang lama dengan yang baru di dalam suatu kebudayaan. Jadi bagi Dewey, filsafat ialah suatu percobaan untuk mengadakan penyesuaian terhadap fakta perubahan kebudayaan. Tanpa percobaan itu, kehidupan manusia berada dalam bahaya. Filsafat adalah hasil yang berasal dari hasrat atau lebih tepat disebut tuntutan, yang menginginkan bahwa hidup itu mengandung makna. Karena tanpa tuntutan tersebut, kita akan binasa.

Demikianlah menurut hemat Dewey. Tetapi kita harus ingat, bagi Dewey, filsafat mempunyai dua segi: filsafat melihat ke masa yang lampau tetapi juga ke masa yang akan datang. Seorang filsuf juga mencoba untuk menetapkan pola-pola yang harus diikuti di dalam pikiran serta tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Ditinjau dari sudut pandang ini, filsafat merupakan suatu perabot yang harus dipergunakan untuk mengubah eksistensi, dan bukan hanya untuk memahaminya.

Filsafat Sebagai Usaha Untuk Mengetahui
Erat hubungannya dengan konsepsi Aristoteles mengenai filsafat ialah, konsepsi yang dianut oleh Jacques Maritain. Filsuf Katholik ini menitikberatkan pada segi usaha menegetahui dari Filsafat. Jacques Maritain antara lain mengatakan:
“filsafat bukanlah suatu kebijaksanaan mengenai tingkah laku atau kehidupan praktik yang berupa perbuatan yang baik. Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada hakekatnya berupa usaha mengetahui. Bagaimana caranya? Mengetahui dalam arti yang paling penuh serta paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian dan dapat menyatakan mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya dan tidak dapat lain daripada itu. Artinya, mengetahui berdasarkan sebab-sebabnya.”

Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mempelajari sebab-sebab pertama atau asas-asas tertinggi dari segala sesuatu. Dengan perkataan lain, filsafat merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama, sejauh sebab-sebab ini termasuk dalam ketertiban alam.
Lawankanlah sekali lagi dengan catatan-catatan yang dibuat oleh John Dewey.
“ ukuran pertama tentang nilai suatu filsafat yang dikemukakan kepada kita: apakah filsafat itu berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari serta peristiwa-peristiwanya, menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa-peristiwa itu bersifat lebih bermakna serta lebih jelas, dan menyebabkan kita lebih berhasil dalam menanganinya?”

Sebagaimana dikatakan, bagi Dewey peranan filsafat tidak berbeda dengan perenungan kefilsafatan itu sendiri. Sedangkan bagi Hocking, Maritain, dan sebagian tokoh yang lain, ada dua pertanyaan yang perlu dipisahkan: (1) apakah filsafat itu? (2) apakah peranan serta nilainya?
Orang-orang yang sangat berbeda pandangannya tentang hakekat filsafat, dapat dan memang sering sependapat mengenai peranan serta nilainya.

Filsafat Sebagai Usaha Penilaian
Tidak banyak keuntungan yang diperoleh dari membuat daftar dan memperhatikan pelbagai macam definisi tentang filsafat. Kecuali, bahwa suatu definisi berikutnya mungkin akan memberikan kejelasan sebagai sudut pandangan yang lain. C.J Ducasse di dalam bukunya Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan memilih tujuh hipotesa yang terdapat akhir-akhir ini mengenai hakekat dan metode filsafat. Hipotesa-hipitesa ini dibicarakannya secara hati-hati dan ia menolaknya kemudian, seraya menambahkan hipotesa yang kedelapan yaitu hipotesanya sendiri.

Ducasse berpendiriran, filsafat ialah suatu usaha mencari pengetahuan dan pengetahuan yang dicarinya ialah mengenai fakta-fakta yang dinamakan penilaian. Penilaian terjadi jika kita menggunakan kata-kata sifat seperti baik dan buruk, susila dan tidak susila, sehat dan khilaf, dapat dipercaya dan mengkhayal, sah  dan salah, dan sebagainya.

Tampaknya bagi Ducasse, pertanyaan-pertanyaan yang mendasar ialah penyifatan apakah yang kita berikan kepada sesuatu pernyataan bila kita menilainya sebagai pernyataan yang sehat? Penyifatan apakah yang kita berikan kepada barang sesuatu bila kita mengatakan bahwa barang sesuatu itu ada? Dan sebagainya. Dengan perkataan lain, Ducasse memandang filsafat sebagai suatu usaha mencari makna yang kita berikan bila kita membuat penilaian-penilaian tersebut.



Beberapa Pandangan Tentang Filsafat
Filsafat mempunyai makna yang banyak jumlahnya bagi pelbagai orang dan pada pelbagai masa di dalam sejarah manusia. Telah banyak definisi yang dicoba untuk dibuat dan banyak pula yang telah membatasi corak-corak pertanyaan yang diajukan oleh seorang filsuf. Selama sejarah peradaban barat, filsafat dipandang meliputi setiap hal, mulai dari sikap pribadi orang terhadap dunia di sekitarnya sampai dengan seluruh jumlah pengetahuan manusia. Aristoteles menulis tentang metafisika, etika, politik, biologi, fisika, bahasa, sebagainya. Dewasa ini ada yang hendak membatasi lingkup filsafat agar hanya berkisar pada pertanyaan-pertanyaan tentang logika sintaksiss. Sebaliknya, oleh Hocking, filsafat diberi Definisi:
“filsafat, menurut pemahaman saya, pertama-tama merupakan suatu penelitian tentang kepercayaan, yakni kepercayaan sebagai paham yang kita hayati yang berbeda dari paham yang kita pertimbangkan. Upaya mengadakan kritik berulang-ulang terhadap pelbagai kepercayaan kita yang utama ini mendorong kita ke arah suatu kepercayaan yang bersifat menyeluruh mengenai dunia kita hidup, sehingga filsafat menjadi penafsiaran yang bersifat umum mengenai pengalaman. Melukiskan pengalaman merupakan usaha kita, dan yang bertujuan untuk melukiskan secara benar, satu penyelidikan yang kritis, yang logis dan tepat mengenai kategori-kategori, tetapi melukiskan itu saja tidak cukup, kecuali jika nelukiskan itu juga berarti menjelaskan. Karena pada akhirnya keharusan untuk memahami itulah yang mendorong kita ke arah filsafat, dan apapun penafsiran manusia terhadap dunia, bagi mereka hal itu merupakan filsafat, baik kita mengakuinya secara demikian maupun tidak.”

Hal ini memberikan kepada kita gambaran mengenai filsafat sebagai suatu percobaan. Katakanlah, untuk keluar dan berada di atas dunia yang kita diami, serta memandang dunia itu dari sudut pandangan yang lebih tinggi. Pandangan yang demikian erat hubungannya dengan pandangan Spinoza yang berpendirian bahwa seorang filsuf harus melihat segala hal yakni dari segi keabadian.

Filsafat dan Peradaban
Sementara orang ada yang membantah dan mengatakan, mereka yang menganut filsafat, yang mengeluarkan mereka dari dunia ini, merupakan orang-orang yang melarikan diri. Banyak yang beranggapan bahwa filsafat yang sebenarnya secara intrinsik menyatu dari percobaan manusia untuk menghadapi pertentangan-pertentangan, kekalahan-kekalahan serta kemenangan-kemenangan dalam hidup. Sebagaimana dikatakan John Dewey (1859-952) filsafat dari satu masa harus dipandang sebagai suatu ungkapan perjuangan manusia di dalam
Usaha yang sudah lama dan selalu baru, untuk menyesuaikan sebagian terbesar tradisi yang membentuk akal pikiran manusia yang sesungguhnya (pada suatu waktu) dengan kecenderungan-kecenderungan ilmiah, serta hasrat-hasrat politik yang baru dan yang tidak cocok dengan otoritas-otoritas yang telah diterima.

Filsafat merupakan perjuangan yang berlangsung terus menerus untuk menyesuaikan yang lama dengan yang baru di dalam suatu kebudayaan. Jadi bagi Dewey, filsafat ialah suatu percobaan untuk mengadakan penyesuaian terhadap fakta perubahan kebudayaan. Tanpa percobaan itu, kehidupan manusia berada dalam bahaya. Filsafat adalah hasil yang berasal dari hasrat atau lebih tepat disebut tuntutan, yang menginginkan bahwa hidup itu mengandung makna. Karena tanpa tuntutan tersebut, kita akan binasa.

Demikianlah menurut hemat Dewey. Tetapi kita harus ingat, bagi Dewey, filsafat mempunyai dua segi: filsafat melihat ke masa yang lampau tetapi juga ke masa yang akan datang. Seorang filsuf juga mencoba untuk menetapkan pola-pola yang harus diikuti di dalam pikiran serta tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Ditinjau dari sudut pandang ini, filsafat merupakan suatu perabot yang harus dipergunakan untuk mengubah eksistensi, dan bukan hanya untuk memahaminya.

Filsafat Sebagai Usaha Untuk Mengetahui
Erat hubungannya dengan konsepsi Aristoteles mengenai filsafat ialah, konsepsi yang dianut oleh Jacques Maritain. Filsuf Katholik ini menitikberatkan pada segi usaha menegetahui dari Filsafat. Jacques Maritain antara lain mengatakan:
“filsafat bukanlah suatu kebijaksanaan mengenai tingkah laku atau kehidupan praktik yang berupa perbuatan yang baik. Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada hakekatnya berupa usaha mengetahui. Bagaimana caranya? Mengetahui dalam arti yang paling penuh serta paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian dan dapat menyatakan mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya dan tidak dapat lain daripada itu. Artinya, mengetahui berdasarkan sebab-sebabnya.”

Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mempelajari sebab-sebab pertama atau asas-asas tertinggi dari segala sesuatu. Dengan perkataan lain, filsafat merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama, sejauh sebab-sebab ini termasuk dalam ketertiban alam.
Lawankanlah sekali lagi dengan catatan-catatan yang dibuat oleh John Dewey.
“ ukuran pertama tentang nilai suatu filsafat yang dikemukakan kepada kita: apakah filsafat itu berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari serta peristiwa-peristiwanya, menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa-peristiwa itu bersifat lebih bermakna serta lebih jelas, dan menyebabkan kita lebih berhasil dalam menanganinya?”

Sebagaimana dikatakan, bagi Dewey peranan filsafat tidak berbeda dengan perenungan kefilsafatan itu sendiri. Sedangkan bagi Hocking, Maritain, dan sebagian tokoh yang lain, ada dua pertanyaan yang perlu dipisahkan: (1) apakah filsafat itu? (2) apakah peranan serta nilainya?
Orang-orang yang sangat berbeda pandangannya tentang hakekat filsafat, dapat dan memang sering sependapat mengenai peranan serta nilainya.

Filsafat Sebagai Usaha Penilaian
Tidak banyak keuntungan yang diperoleh dari membuat daftar dan memperhatikan pelbagai macam definisi tentang filsafat. Kecuali, bahwa suatu definisi berikutnya mungkin akan memberikan kejelasan sebagai sudut pandangan yang lain. C.J Ducasse di dalam bukunya Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan memilih tujuh hipotesa yang terdapat akhir-akhir ini mengenai hakekat dan metode filsafat. Hipotesa-hipitesa ini dibicarakannya secara hati-hati dan ia menolaknya kemudian, seraya menambahkan hipotesa yang kedelapan yaitu hipotesanya sendiri.

Ducasse berpendiriran, filsafat ialah suatu usaha mencari pengetahuan dan pengetahuan yang dicarinya ialah mengenai fakta-fakta yang dinamakan penilaian. Penilaian terjadi jika kita menggunakan kata-kata sifat seperti baik dan buruk, susila dan tidak susila, sehat dan khilaf, dapat dipercaya dan mengkhayal, sah  dan salah, dan sebagainya.

Tampaknya bagi Ducasse, pertanyaan-pertanyaan yang mendasar ialah penyifatan apakah yang kita berikan kepada sesuatu pernyataan bila kita menilainya sebagai pernyataan yang sehat? Penyifatan apakah yang kita berikan kepada barang sesuatu bila kita mengatakan bahwa barang sesuatu itu ada? Dan sebagainya. Dengan perkataan lain, Ducasse memandang filsafat sebagai suatu usaha mencari makna yang kita berikan bila kita membuat penilaian-penilaian tersebut.

Tentang Blog Saya

ketika lisan tak lagi tepat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, maka tulisan menjadi alternatif terbaik untuk mencurahkan semuanya

Mengenai Saya

Foto saya
Ketika ku dihadapkan pada masalah dan hampir membuatku menyerah, yang ku lakukan adalah berpasrah dan mengucap 'sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan'.