ETIKA, MAKNA DAN MASALAHNYA
Makna Etika
Istilah
etika dipakai dalam dua macam arti. Yang satu tampak dalam ungkapan seperti
“saya pernah belajar etika.” Dalam penggunan seperti ini etika dimaksudkan
sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia.
Makna
kedua seperti yang terdapat pada ungkapan “ia bersifat etis.”, atau “ia seorang
yang jujur.”, atau “pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila,” atau
“kebohongan merupakan sesuatu yang tidak susila.” Dan sebagainya. Dalam hal-hal
tersebut ‘bersifat etik’ merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan
hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia tertentu dengan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Dalam arti yang demikian
ini, ‘bersifat etik’ setara dengan ‘bersifat susila’.
Hendaknya
dicatat, ‘bersifat susila’ tidak harus berarti sama atau sesuai dengan adat
istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok manusia tertentu. Ada kemungkinan
seseorang mengutuk salah satu adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok
manusia tertentu sekedar merupakan kebiasaan-kebiasaan, seperti kebiasaan
membuang anak kecil yang terdapat pada kelompok manusia terasing, dan
sebagainya.
Patut
pula diingat bahwa etika sebagai ilmu penegtahuan dapat berarti penyelidikan
mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangkan etika sebagai ajaran
bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Pembedaan yang coba
diadakan ini sesungguhnya sama dengan pembedaan antara berbicara mengenai
kesusilaan dengan berbicara menurut istilah-istilah kesusilaan. Jika kita ingat
pembedaan antara ‘keharusan’ dengan ‘kenyataan’, kita dapat memahami bahwa ada
kemungkinan untuk menyelidiki masalah-masalah penilaian dengan dua cara. Orang
mungkin menghadapi seperangkat pernyataan seperti, “di Amerika Serikat,
Pembunuhan dipandang sebagai keburukan.” Atau “di negeri X, hubungan sebelum
perkawinan dipandang sebagai susila, “ dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam
hal ini terdapat suatu ilmu pengetahuan yang murni deskriptif dan illmu
pengetahuan yang tugasnya sekedar menggambarkan objeknya secara cermat.
Etika
deskriptif mungkin merupakan cabang sosiologi, tetapi jika kita belajar etika
kiranya penting untuk mengetahui apa yang dipandang betul dan apa yang
dipandang tidak betul. Pengetahuan yang demikian ini dapat mencegah
berkembangnya rasa kedaerahan. Tetapi perbedaan yang besar dalam adat istiadat
juga telah menimbulkan pendirian bahwa tanggapan-tanggapan kesusilaan bersifat
nisbi. Artinya, berbeda-beda tergantung pada kebudayaan dimana
tanggapan-tanggapan tersebut dibuat. Etika deskriptif bersangkutan dengan
pencatatan bermacam-macam predikat serta tanggapan kesusilaan yang ada. Oleh
karena itu etika deskriptif tidak dapat membicarakan ukuran-ukuran mengenai tanggapan
kesusilaan yang sehat, meskipun kadang-kadang etika deskriptif mencampur
adukkan antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan memandang bahwa
tanggapan kesusilaan tersebut sudah betul.
Di
lain pihak, etika acapkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan
ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang
mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan. Ilmu
pengetahuan ini membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang
seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk menetapkan apa yang
bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Ilmu pengetahuan seperti ini
dinamakan ‘etika normatif’.
Di
samping itu terdapat juga makna ketiga, yang bersifat lebih terbatas yang
dikandung oleh istilah ‘etika’. Agar etika tetap memperoleh pengertian sebagai
ilmu pengetahuan umum namun tidak dipulangkan kepada sosiologi, maka terdapat
pula orang-orang yang berbicara mengenai etika kefilsafatan, yaitu analisa
mengenai makna apakah yang dikandung oleh predikat-predikat kesusilaan. Analisa
ini dilakukan dengan jalan menyelidiki penggunaan predikat-predikat yang
dikandung pernyataan-pernyataan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Etika Deskriptif dan Etika Normatif
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa etika deskriptif sekedar melukiskan predikat-predikat
dan tanggapan-tanggapan kesusilaan yang telah dan digunakan. Etika normatif
bersangkutan dengan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas. Etika
kefilsafatan mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-isilah
kesusilaan, yang dipakai untuk mebuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Etika Praktis
Kita
ambil sebuah contoh. Diandaikan kita adalah seseorang dokter yang menghadapi
pasien yang sedang menghadapi maut karena berpenyakit kanker dan sedang
menderita rasa sakit yang hebat. Sebagai seorang dokter, kita dapat membunuh
pasien kita dan secara demikian melepaskannya dari kertersiksaan yang
mengerikan, yang bagaimanapun pasti akan berakhir dengan kematiannya. Kita
bertanya di dalam hati, “apakah dapat dibenarkan bila saya sebagai seorang
dokter membunuh pasien saya?” peristiwa ini dapat dijadikan sebagai suatu
masalah yang pelik. Misalnya kita dapat mengandaikan bahwa orangnya sendiri
minta untuk dibunuh, dan segenap kerabatnya dapat menerima pembunuhan tersebut.
Dalam
hal ini masalah-masalah apakah yang timbul? Kita mungkin mengatakan,”masalah
nyawa termasuk urusan Tuhan dan karenanya seorang dokter tidak berhak mencabut
nyawa seseorang.” Orang lain mungkin berkata, “memang benar, tetapi cobalah
berpikir betapa kurangnya penderitaan si sakit dan bertambahnya kebahagiaan
sanak keluarga yang dicekam oleh kecemasan seraya berputus asa serta tiada
berdaya lagi. Dalam hal ini perbuatan membunuh tersebut bersifat susila.”
Di
samping itu orang ketiga mungkin berkata, “sesungguhnya mencabut nyawa merupakan
perbuatan yang tidak susila, apapun akibat yang ditimbulkannya. Seorang dokter
tidak berhak melakukan pembunuhan terlepas dari masalah rasa sakit dan
penderitaan yang dialami seseorang.”